Aku memandang langit. Rasa syukur dan damai tak terucapkan muncul
ketika aku bisa merasakan panas matahari menghangatkan tubuhku… atau
saat melihat langit malam dengan bulan, bintang-bintang, dan awannya
yang menggantung indah di tengah langit biru…
Sering aku menyesal, kalau aku sedang
malas bangun pagi saat liburan. Tak bisa rasakan cahaya matahari yang
begiiiitu indah. Aah…kalau saja aku bangun lebih pagi.
Kalau tak libur, sama sekali aku tak
dapat menikmati cahanya yang lembut itu.. Aku hanya bisa memandang
langit dan awannya yang mengapung dengan indah, dikombinasikan dengan
cahaya matahari pagi, dari atas motorku..ah…indah sekali. Siapakah yang
membuat ini semua?
Kalau sore hari tiba… biasanya aku tak
bisa merasakan indahnya matahari. Aku sibuk dengan teman-temanku di
kampus. Aku sibuk mencari cara untuk mencuri pandang orang yang kusuka.
Aku sibuk dengan tugas dan kegiatan kampus yang semuanya di lakukan di
dalam gedung!
Tapi aku ingin. Ingiiiin sekali menghabiskan waktuku dengan menikmati mentari sore hingga ia terbenam kembali.
Langit malam, langit malam, dimanakah aku bisa melihat langit malam yang indah? Di rumahku, langit malamnya indaaah sekali..
***
“Panas!”
“Aduh, kulit gw nanti gosong!”
Ucapan-ucapan seperti itu kadang membuatku gatal! Huh, tak bersyukurkah mereka? Lihat! Matahari itu bersinar untuk siapa?
Uh…tak bersyukurkah!
Sementara langit malam? Ah..aku ragu ada banyak orang yang masih mau menikmatinya. Orang-orang sibuk hangout maupun mengurung diri di kamar mereka, sibuk dengan alat elektronik di dalam rumah mereka.
Aku..aku sangat senang jika punya kesempatan melihat langit yang seindah itu…
Aku selalu bertanya dalam hati, ‘besok masih adakah langit seindah ini?’
Aku selalu bertanya dalam hati, ‘besok masih adakah langit seindah ini?’
Bagiku…langit dan segala penghiasnya
adalah harta yang begiiitu berharga. Tak ternilai. Karena itu, jika
langit hari ini abu-abu, aku cemas. Aku cemas harta itu telah dirampas.
Dirampas oleh awan abu-abu. Oleh karbondioksida. Oleh lampu-lampu
pencakar langit. Oleh billboard ratusan bahkan ribuan watt dipinggir
jalan. Oleh efek rumah kaca. Oleh polusi-polusi yang tak terkira lagi
jumlahnya. Direnggut oleh keegoisan manusia. Oleh ambisi-ambisi manusia…
Oh, bisakah ku lihat kembali langit yang indah besok?
Tuhan, Kaulah pembuat langit itu. Maukah
Kau tunjukkan lagi pada mereka langit yang begitu indah hingga mereka
menyadarinya? Hingga mereka mengucap syukur karenanya? Hingga mereka
memandang-Mu dengan takjub dan penuh rasa syukur?
Beberapa bulan terakhir ini media
masa baik cetak maupun elektronik memberitakan beberapa orang yang
nekad, melakukan bunuh diri. Berbagai cara dilakukan untuk melakukan
perbuatan yang tragis itu. Ada yang melompat dari bangunan gedung
tinggi, menggantung diri, minum racun serangga, dan mungkin cara yang
lain. Pokoknya mereka menempuh jalan pintas untuk mencapai kematian.
Alasannya macam-macam. Kesulitan ekonomi, aib karena hamil tanpa suami,
putus asa karena diberhentikan dari pekerjaan, bahkan hanya karena tidak
dibelikan motor orang tuanya. Pelakunyapun dari berbagai lapisan
masyarakat, dari yang berpendidikan maupun yg tidak. Profesinya juga
macam-macam siswa, mahasiswa, tukang ojek, bahkan ada juga yang pendeta.
Pendeta? Ya disebuah majalah luar negeri yang disadur dalam bahasa
Indonesia, ada seorang pendeta yang menderita penyakit alzaimer, itu
penyakit pikun yang sangat parah, yang membuat tangan selalu gemetar,
membuat ia putus asa.
Tak sanggup menerima kenyataan ini
pendeta yang berasal dari Jerman itu menjalani euthanesia, yaitu hak
untuk menentukan kematiannya yang di negara Belanda diberlakukan.
Melalui tangan dokter, pendeta itu meninggal dengan tenang, setelah
minum obat yg membuatnya tidur berkepanjangan.
Yang
sedang rame jadi berita adalah bunuh diri karena merasa apa yang
dilakukan benar menurut agamanya, yaitu berjihad. Dengan harapan masuk
sorga, para penganut agama yang radikal berhaluan keras ini rela bunuh
diri bersama bom dan para korbannya, tanpa memikirkan akibat tragis yang
menimpa dirinya ataupun orang lain. Pokoknya bagi mereka yang mencari
jalan kematiannya menurut keinginannya sendiri pasti tidak lagi
menghargai kehidupan yang menurutnya sudah tidak punya arti.
Tetapi
bagi kita orang percaya, kematian dan kehidupan adalah anugerah. Rasul
Paulus mengatakan dalam Filipi 1 : 21 - ”Karena bagiku hidup adalah
Kristus, dan mati adalah keuntungan”.
Walaupun
orang itu hidup, tetapi kalau hidup tanpa Kristus, itu juga hidup yang
tidak berarti, sama halnya dengan konsep orang yang bunuh diri itu tadi.
Karena itu Yesus sudah memberikan contoh, bahwa hidup atau mati harus
punya arti. Ketika Ia hidup, Ia melakukan semua kebaikan, dan hidup-Nya
sangat berguna bagi orang banyak. Ketika Ia mati, kematian-Nyapun
teramat sangat berarti karena mengalahkan maut, untuk menebus manusia
dari dosa. Lalu Dia hidup dan bangkit lagi. Sangat spektakuler, karena
selama 40 hari Dia mengadakan pertemuan–pertemuan yang efektif dengan
para murid-Nya untuk meneguhkan mereka menjalani hidup menjadi
saksi-Nya. Kemudian setelah tiba waktunya untuk naik ke sorga dan
disaksikan banyak orang, orangpun semakin tahu, bahwa Dia tetap hidup
sampai sekarang untuk menyediakan tempat buat kita.
Contoh
sudah ada, tentang makna hidup dan mati yang diberikan Kristus bagi
kita. Mungkin saat ini kita hidup tidak berbahagia. Sakit yang tidak
sembuh-sembuh, masalah ekonomi yang menghimpit, PHK yang sangat
mengerikan, atau bahkan cobaan yang berat datang bertubi-tubi, nyaris
tak kuat menanggungnya.
Memang
itulah warna kehidupan. Berdoa sudah, berpuasa oke, ibadah tak pernah
putus, menjalani Firman sudah dilakukan. Tetapi tetap masalah-masalah
berat itu bak Romeo dan Yuliet, tak pernah terpisahkan kecuali kematian.
Tetapi ingatlah segala sesuatu ada batasnya di dunia ini. Marilah kita
terus bertekun dengan berbuat baik, tetap mengiring Tuhan, jangan putus
asa. Seperti Yesus yang mati di kayu salib, akan berakhir dengan
kebangkitan dan kemenangan, begitu juga dalam masalah yang kita hadapi,
akan berakhir dengan kemenangan asal kita setia sampai mati seperti
Kristus.
Bagi
orang lain barangkali masalah mati adalah masalah yang menakutkan,
mengerikan dan menyedihkan. Bisa jadi. Tetapi semua itu harus bisa
diatasi karena janji-Nya dalam Firman-Nya adalah segala sesuatu 'indah
pada waktunya.' Kita tunggu saja waktu yang indah itu, meski waktu untuk
menunggu itu terkadang tidak indah. Paskah memang bukan hanya
diperingati, tetapi untuk direnungkan dan diteladani tentang kematian
dan kehidupan. Hidup ini sangat berharga, kalau saja kita bisa memberi
makna kehidupan bagi Tuhan dan orang lain. Yesus sudah mati dan bangkit
bagi kita. Sekarang kita hidup, entah sampai kapan. Sang maestro penyair
Indonesia dalam syairnya menulis. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,
sudah itu mati“. Kita tak mungkin hidup seribu tahun kan? Bukan
persoalan berapa lama kita hidup. Tetapi sesudah mati, lalu apa? Andalah
yang menjawabnya setelah membaca tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar